Selasa, 12 April 2011

Masa Depan Politik Lokal Indonesia


Melihat masa depan dari politik lokal di Indonesia merupakan sesuatu hal yang abstrak atau sulit untuk dibaca sampai hari ini. Kesulitan dalam membaca masa depan dari politik lokal di Indonesia ini dikarenakan adanya dua pandangan yang dominan dalam membaca masa depan politik lokal di Indonesia, yaitu pandangan optimisme terhadap masa depan politik lokal yang melihat politik lokal sebagai desentralisasi dan pandangan pesimisme terhadap masa depan politik lokal di Indonesia yang melihat politik lokal dari kasus-kasus mikro ditingkat lokal. Selain itu politik lokal juga sering diidentikan dengan demokrasi dan desentralisasi, padahal ada atau tidak adanya demokrasi dan desentralisasi, politik lokal akan tetap ada atau hadir. Dengan adanya dua pandangan dominan dan penyamaan demokrasi serta desentralisasi dengan politik lokal tersebut, maka diperlukan pendefinisian ulang terhadap politik lokal di Indonesia agar masa depan dari politik lokal dapat dibaca secara jelas.
Terdapat empat prespektif dalam mendefinisikan atau melihat politik lokal, yaitu prespektif Pluralist, Marxist, Neo-klasik dan Kulturalist. Prespektif pluralist melihat politik lokal sebagai entitas politik yang berdiri sendiri karena kemajemukanlah yang menjadi nilai normatif utama. Dalam melihat politik lokal, prespektif marxist tidak mempercayai politik lokal sebagai entitas karena bagi prespektif ini politik lokal merupakan kepanjangan dari politik sebagai akibat dari pemusatan kekuasaan yang berada pada kelas berkuasa. Prespektif neo-klasik melihat politik lokal sebagai suatu entitas ekonomi, dimana politik lokal dijadikan alat untuk menfasilitasi bekerjanya pasar sebab prespektif ini anti terhadap negara dan hanya percaya pada pasar sebagai pembawa kemakmuran. Sedangkan prespektif kulturalist melihat politik lokal sebagai sebuah entitas budaya. Keempat prespektif tersebut dapat digunakan dalam melihat masa depan politik lokal di Indonesia dengan menganalisis politik lokal yang telah berkembang di Indonesia bahkan sejak pra kemerdekaan hingga saat ini.
Pada masa kolonialisme, politik lokal di Indonesia juga telah berkembang dibawah pemerintahan kolonial belanda maupun jepang. Meskipun belanda dan jepang memerintah di Indonesia dengan sentralistik, masih ada ruang bagi berkembangnya politik lokal terutama pada masa pemerintahan kolonial belanda. Pada masa pemerintahan kolonial belanda, politik lokal diberikan ruang untuk berkembang melalui inlendsche gemeente. Dimana desa memiliki otonominya sendiri untuk mengatur pemerintahannya sesuai dengan lokalitas, sehingga memberi keragaman politik lokal diberbagai wilayah di Indonesia. Bahkan kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang berada di daerah yang tidak langsung dikuasai oleh belanda tetap dibiarkan berkembang dan ikatan dengan pemerintahan belanda menggunakan kontrak politik disebut sebagai zelfbesturende landschappen. Kelonggaran yang diberikan pemerintahan kolonial belanda pada daerah-daerah di Indonesia untuk mengembangkan politik lokalnya bahkan diatur dalam regulasi yaitu reglement op het beleid der regering van nederlandsch indie, decentralisatiwet 1903 dan bestuurshervormings ordinnantie. Regulasi-regulasi tersebut mengarah pada adanya dekonsentrasi atau pembagian sebagian wewenang yang diberikan oleh pemerintah kolonial belanda kepada daerah. Sehingga dapat mengembangkan lokalitas dan keberagaman terhadap politik lokal didaerah, bahkan juga memunculkan elit aristokrasi lokal (elit pribumi). Pada masa pemerintahan kolonial belanda ini, politik lokal dilihat sebagai entitas politik seperti pendekatan prespektif pluralist dalam melihat politik lokal. Hal tersebut dikarenakan politik lokal diberi ruang untuk berkembang dan juga terdapat kemajemukan atau keberagaman dalam mengelola pemerintahan di daerah sesuai dengan lokalitasnya (otonomi daerah). Sedangkan pada masa pemerintah kolonial jepang, politik lokal tidak mengalami perkembangan karena karakter politik pemerintahannya yang resentralistik dan militeristik. Tidak seperti pemerintahan kolonial belanda yang  membagi daerah sesuai dengan lokalitasnya, pemerintahan kolonial jepang membagi wilayah Indonesia menjadi tiga komandao yaitu Sumatera dibawah komando Panglima AD XXV di Bukit Tinggi, Jawa dan Madura dibawah komando Panglima AD XVI di Jakarta serta daerah lain dibawah komando Panglima AL di Makasar. Selain itu daerah juga hanya dipimpin oleh bupati dan walikota sebagai penguasa tunggal di daerah, sebab locale road bergeser pada eksekutif. Adanya pembentukan tonari gumi yang merupakan cikal bakal dari adanya RT dan RW disetiap daerah bahkan ditujukan untuk mobilisasi, indoktrinisasi dan kontrol, bukan memberi ruang bagi berkembangnya politik lokal. Hal tersebut memperlihatkan bahwa politik lokal seolah-olah tidak mempunyai ruang untuk bergerak karena pemerintahan kolonial jepang yang begitu sentralistik dan mengatur semua daerah secara sama. Sehingga memperlihatkan bahwa pada masa kolonial jepang, politik lokal hanya dianggap sebagai kepanjangan tangan dari politik karena tidak mempercayai politik lokal sebagai entitas, sesuai dengan prespektif marxist.
Politik lokal pada masa orde lama antara tahun 1945-1965 memiliki kekuatan yang sangat besar. Hal tersebut dikarenakan sistem pemerintahannya yang masih berubah-ubah dan sedang dalam mencari bentuk serta struktur kekuasaan pusat yang belum dapat menjangkau daerah. Dimana sering terjadinya pemberontakan diberbagai daerah yang berbasiskan etnis, agama dan sebagainya sebagai akibat dari kecemburuan sosial atau ketimpangan antara jawa dan non jawa. Masih berkembang dan kuatnya ide federalisme serta masih hidupnya pengaturan politik lokal seperti nagari dan desa adat juga menjadi faktor kuat bagi munculnya pemberontakan selain kehidupan partai politik yang dinamis dan kuat. Melihat dari beberapa indikasi tersebut, politik lokal pada masa pemerintahan orde lama dilihat sebagai entitas politik, dimana keberagaman dan kemajemukan menjadi dasar dari prespektif pluralist. Namun berbeda dengan pemerintahan kolonial belanda, pemerintahan orde lama menjadikan politik lokal sebagai entitas politik  yang bebas tanpa ada pengaturan yang tegas dari pemerintah pusat. Sehingga menyebabkan penguatan politik lokal berkembang secara mandiri yang mengerucut pada pemberontakan-pemberontakan. Sedangkan pada masa orde baru periode 1965-1998, sistem pemerintahan yang digunakan adalah otoritarianisme dan sentralistik. Hal tersebut menyebabkan politik lokal masih tetap ada namun menjadi tidak demokratis karena sistem pemerintahannya yang otoritarianisme dan sentralistik. Bahkan adanya kebijakan penyeragaman atau uniformalitas menjadikan hilangnya keberagaman format pengaturan dari politik lokal melalui desanisasi yang menyebabkan sistem nagari di Sumatera Barat menjadi hilang. Pada masa orde baru ini, kehidupan politik menjadi sangat diperketat oleh pemerintah, bahkan para pemimpin daerah adalah orang-orang yang telah dipilih oleh pemerintah tanpa melalui mekanisme demokrasi menyebabkan adanya dominasi kalangan militer didalam birokrasi. Masyarakat pun menjadi sangat termarginalkan pada saat itu serta pembentukan organisasi pun juga diatur oleh pemerintah melalui korporatisme negara. Pembentukan negara orde baru menempatkan instrumen kekerasan dan hukuman sebagai cara utama dalam menghadapi persoalan. Dari beberapa karateristik orde baru tersebut, politik lokal dilihat menggunakan prespektif Marxist karena politik lokal tidak diberikan ruang untuk bergerak dan merupakan kepanjangan dari politik serta tidak percaya politik lokal sebagai entitas. Kekuasaan yang tunggal pada satu kelas penguasa pun menjadi poin utama dalam prepektif ini dalam melihat politik lokal pada masa orde baru yang dipimpin dengan otoritarianisme dan sentralistik.
Politik pasca orde baru memberikan ruang yang besar bagi penguatan politik lokal di Indonesia karena adanya demokrasi dan desentralisasi yang hadir mewarnai sistem pemerintahan di Indonesia. Dimana reformasi birokrasi meliputi revitalisasi dan modernisasi administrasi pemerintahan serta otonomi daerah menjadi pendorong bagi terciptanya good governance. Desentralisasi dan otonomi daerah yang hadir mengakibatkan penguatan bagi politik lokal di daerah, seperti penguatan local eksekutif di Bantul dan Jembarana, fenomena shadow state di Banten dan Bangka, kebangkitan wacana ajeg bali di Bali dan wacana kembali ke nagari di Sumatera Barat, berkembangnya politik identitas etnis di Kalimatan Barat serta fenomena kekuasaan keluarga wajo di Sulawesi Selatan.
The best practice desentralisasi adalah label bagi kabupaten Bantul dan Jembarana, dimana proses desentralisasinya dapat menyejahterakan masyarakat di daerah tersebut. Namun kesejahteraan yang didapatkan oleh masyarakat tersebut diperoleh dari adanya local eksekutif yang kuat, dimana kebijakan populis yang menyejahterakan dibuat oleh bupati Idham Samawi dan I Gede Winasa dengan cara memby-pass dan mengakali segala aturan yang ada. Jadi kebijakan tersebut dibuat hanya oleh tangan eksekutif tanpa berkoordinasi dengan legislatif melalui SK. Fenomena shadow state juga muncul sebagai akibat dari adanya desentralisasi dan otonomi daerah, dimana para elit-elit lokal informal yang memiliki latar belakang sumber daya ekonomi, klan maupun kesaktian mewarnai politik Indonesia karena dapat memberikan pengaruh dalam pelaksanaan pemerintahan. Seperti kasus Banten, dimana Tuan Besar yang memiliki sumber daya kekerasan dan keuangan karena sebagai jawara dan pengusaha dapat memenangkan putrinya Ratu Atut Choisiyah sebagai wakil gubernur pada periode 2004 bersama Djoko Munandar sebagai gubernur. Tak hanya itu kasus premanisme proyek mengenai tender-tender proyek pemerintah juga dimainkan oleh Tuan Besar sebagai pengusaha. Kasus raja timah di Bangka, dimana negara bayangan hadir sebagai informal ekonomi dalam hal perebutan izin timah. Selain itu kemunculan wacana ajeg bali dan kembali ke nagari yang bangkit pada pasca orde baru, dimana Bali ingin mempertahankan adat istiadatnya dengan memunculkan kembali desa pakraman yang bersaing dengan desa dinas sebagai akibat dari otonomi yang terfragmentasi. Wacana kebangkitan kembali nagari di Sumatera Barat memperlihat bahwa desentralisasi dan otonomi daerah dapat menyebabkan kembali munculnya republik kecil yang bebas dari negara. Sehingga elit-elit lokal di Sumatera Barat sebaiknya menciptakan kembali wacana nagari hanya berdasarkan atas pemikiran, semangat dan pembaharuan yang dapat diatur oleh pemerintah pusat artinya nagari harus mengikuti regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat. Fenomena munculnya politik identitas etnis di Kalimantan Barat, dimana memunculkan power sharing atau pemekaran yang berbasiskan etnisitas sebagai pereda atau pencegah konflik etnis antara dayak dan melayu menggambarkan bahwa desentralisasi membawa pada penguatan elit-elit lokal. Kasus kekuasaan keluarga wajo di Sulawesi Selatan, dimana terjadi ketegangan perebutan kekuasaan antara bangsawan dan non bangsawan. Dan kebangkitan Puang di era pasca orde baru ini menggambarkan bahwa puncak kekuasaan lokal yang didasarkan pada artikulasi kekuasaan institusional dan jaringan patron client yang kuat menjadi karakteristik dari bangkitnya elit-elit lokal di daerah yang menjadi sangat kuat. Sehingga apabila melihat kasus-kasus yang kompleks tersebut, politik lokal dilihat sebagai sebuah entitas politik yang kuat, dimana prespektif pluralist menekankan pada adanya keberagaman dan penyebaran dalam kekuasaan. Namun kasus-kasus tersebut juga memberi gambaran akan ketakutan terhadap masa depan politik lokal yang dapat berkembang dan didominasi oleh elit-elit lokal. Tapi disisi lain, desentralisasi dan otonomi daerah juga memberikan dampak yang positif bagi kehidupan politik lokal, dimana munculnya penguatan terhadap masyarakat melalui sistem pilkada dalam memainkan perannya sebagai pemilih mengunakan pilihan rasional. Selain itu juga terjadi perkembangan pada lembaga swadaya masyarakat yang semakin banyak, meskipun tujuan dari lembaga tersebut belum jelas, tapi hal tersebut memberikan indikasi bahwa adanya pendewasaan pada level grassroot dalam tingkat lokal.
Dari berbagai fakta mengenai desentralisasi tersebut, alangkah baiknya mencari jalan keluar dari berbagai persoalan tersebut. Indonesia adalah sebuah bangsa yang masih mengalami proses pembentukan bangsa dan belum mencapai pada tahap akhirnya, artinya Indonesia masih belum selesai sebagai sebuah bangsa. Sehingga munculnya penguatan elit-elit lokal, shadow state, politik identitas etnis dan sebagainya merupakan suatu hal yang seharusnya bukan menjadi penghalang bagi masa depan politik lokal karena proses pembentukan bangsa ini yang belum selesai. Solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah perlu melihat politik lokal menggunakan prespektif pluralist, dimana politik lokal dilihat sebagai entitas politik dan mengutamakan pada penyebaran kekuasaan dalam bentuk yang beragam, namun harus tetap mempertahankan bentuk kesatuan negara Indonesia. Indonesia merupakan negara yang multikultural dengan keberagaman suku, budaya, ras, agama, etnis dan sebagainya, sehingga pengaturan politik lokal di Indonesia tidak bisa dilakukan secara seragam ataupun sama agar tercipta demokrasi lokal menurut lokalitasnya. Dan tugas dari pemerintah pusat untuk menghindari pemberontakan didaerah sebagai akibat dari adanya penguatan politik lokal adalah membatasi ruang gerak dari politik lokal agar tidak berlebihan yang dapat menganggu stabilitas nasional dengan cara membuat regulasi yang menfokuskan pada kesatuan dan resolusi konflik yang damai. Selain itu, diperlukan adanya sinergisitas hubungan antara pusat dan daerah dengan cara melakukan kontrol, evaluasi, koordinasi, solusi dan sebagainya agar perpecahan tidak terjadi. Sehingga sistem otoriter dapat digunakan sebagai kontrol untuk mempertahankan bentuk kesatuan dan dapat membuktikan bahwa sistem otoriter juga memiliki kebaikan asalkan tidak digunakan secara berlebihan. Oleh karena itu, masa depan dari politik lokal di Indonesia akan dapat memungkinkan terciptanya demokrasi yang sesungguhnya apabila tidak hanya dilihat dari pandangan optimisme dan pesimisme saja, melainkan melihat dari kedua pandangan tersebut dan mencarikan jalan keluar dari permasalahannya. Sekarang hanya perlu mempertanyakan soal waktu untuk menwujudkan politik lokal yang demokratis, damai dan dapat menyejahterakan masyarakat dalam konteks Indonesia saat ini.

Sumber Referensi
Kompilasi Bahan Bacaan Kuliah Politik Lokal Tahun Ajaran 2010/2011.
Catatan Kuliah Politik Lokal

Ryana Andryana
09/288822/SP/23780
Jurusan Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

2 komentar: