Sabtu, 21 Mei 2011

Review Roman "Anak Semua Bangsa"

Judul                           : Anak Semua Bangsa
Penulis                         : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                       : Lentera Dipantara
Kota Terbit                  : Jakarta
Tahun Terbit                : 2006
Jumlah Halaman          : 539 Halaman

Dapatkah sebuah tulisan mengerakkan rasa nasionalisme kita? Itulah makna yang ingin dibangun dari buku yang berjudul Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini bukanlah sekedar novel ataupun roman belaka. Karena melalui cerita dalam buku ini sang penulis berusaha untuk menggugah dan mengali rasa nasionalisme dalam diri sang pembaca terhadap bangsanya melalui ceritanya.
Buku ini menceritakan tentang seorang pribumi terpelajar bernama Minke yang dihadapkan antara kekaguman pada bangsa eropa dan kenyataan tentang keadaan lingkungan bangsanya yang kerdil. Dan bagaimana seorang penulis bernama Minke dalam perjalanannya menghadapi semua hal tersebut serta dorongan dari teman-teman bangsa eropanya yang peduli akan nasib bangsa pribumi yang terpuruk itu. Penulis menceritakan adanya pertentangan dalam diri Minke yang mencari jati diri atau menemukan semangat kebangsaan. Karena Minke merupakan seorang pribumi yang mengagungkan bangsa eropa dan kehilangan rasa nasionalismenya. Hal tersebut digambarkan dengan adanya pertentangan yang terjadi antara Jean Marais dan Kommer yang menyarankan kepada Minke agar menulis cerita maupun berita dalam bahasa pribumi baik Jawa maupun Melayu. Dan janganlah menulis dalam bahasa Belanda apalagi Inggris yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang pribumi. Begitu banyaknya dukungan yang didapatkan oleh Minke dari teman-teman bangsa eropanya agar Minke dapat mengenal bangsanya sendiri. Ini merupakan hal yang aneh. Mengapa orang seperti mereka dapat peduli kepada bangsa pribumi yang bahkan orang pribumi terpelajar sekalipun tak peduli terhadap  bangsanya sendiri. Bukan hanya mereka, keluarga Miriam De La Croix yang juga merupakan bangsa eropa liberal juga memberikan antusias atau perhatian pada bangsa pribumi. Melalui surat-surat mereka yang ditujukan kepada Minke yang berisi mengenai kepeduliannya kepada bangsa pribumi yang telah diinjak-injak oleh bangsa eropa. Miriam dalam suratnya menyuruh Minke untuk membela bangsanya dan jangan hanya mengagungkan bangsa eropa melainkan belajarlah untuk membangun dan menghidupkan bangsamu dari bangsa eropa. Selain itu juga berisi mengenai surat Raden Ajeng Kartini yang berbicara mengenai perbedaan kehidupan perempuan-perempuan di jepara sebelum dan sesudah bangsa eropa datang ke bumi pertiwi. Bahkan seorang wanita jepara pun telah membela bangsanya melalui tulisan dan mengapa seorang lelaki pribumi terpelajar masih ragu dalam membela bangsanya melalui hal yang kecil yaitu tulisan.
Pramoedya dalam membangun semangat kebangsaan juga memberikan cerita mengenai rakyat-rakyat pribumi yang ditindas oleh bangsa eropa yaitu cerita mengenai pengalaman Surati dan Trunodongso. Dalam buku itu diceritakan bahwa pengalaman seorang gadis dari juru bayar yang bernama Sastro Kassier harus menerima nasib ingin dijadikan gundik oleh Tuan Besar Kuasa Administratur yang bernama Plikemboh. Dalam mendapatkan keinginnya seorang bangsa eropa ini melakukan akal liciknya dengan menjebak Sastro Kassier, sehingga Surati anaknya dapat didapatkan dengan mudahnya. Hal ini menggambarkan bahwa bangsa-bangsa eropa yang datang ke Indonesia pada saat itu memang melakukan hal-hal yang licik dalam mencapai kejayaannya ditanah jajahan. Dan dalam memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seperti budak. Cerita dari seorang petani gula bernama Trunodongso juga menggambarkan bahwa mayoritas bangsa eropa yang menjajah Indonesia sangat kejam dalam memperlakukan bangsa pribumi. Mereka hanya menyerap tenaga dan mempergunakan harta benda yang dimiliki oleh bangsa pribumi tanpa terima kasih apalagi memberi imbalan. Bahkan pemerintah yang ada seperti bupati dan gubermen tidak peduli lagi pada nasib bangsa pribumi. Mereka lebih kejam pada bangsa pribumi daripada bangsa eropa hanya demi mempertahankan jabatan yang diperolehnya.
Roman Anak Sebuah Bangsa juga menceritakan bagaimana kedudukan seorang pribumi lemah dalam hukum, apabila berhadapan dengan bangsa eropa seperti kejadian yang terjadi pada Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh harus berjuang sendiri dalam mempertahankan seluruh harta dan perusahaannya agar tidak jatuh kepada keluarga Mallema di Belanda. Hadir dalam setiap persidangan dan mencari-cari bukti sendiri karena tak ada satupun advokat yang bersedia membela Nyai Ontosoroh. Bahkan untuk melawan Ir. Mauritis Mallema, Nyai Ontosoroh mengundang seluruh sahabat-sahabat Minke agar membantunya melawan Ir. Mauritis Mallema dengan mulut atau suara. Sungguh nasib seorang pribumi Indonesia yang tidak dapat berbuat apa-apa dalam menegakkan keadilan hukum meskipun dia memiliki banyak harta. Betapa digambarkan sangat pentingnya kedudukan atas dasar warna kulit dan bangsa pada waktu itu. Sehingga keadilanpun tak berpihak pada orang-orang yang memiliki bangsa yang tak terpandang didunia seperti bangsa pribumi Indonesia.
Buku ini dapat memberikan makna yang berharga karena buku ini menceritakan juga mengenai pergolakan atau pergerakan dalam dunia internasional yang dapat memberikan pelajaran kepada bangsa pribumi. Salah satunya adalah pergerakan yang dilakukan oleh jepang dalam menyetarakan kedudukannya dengan bangsa eropa. Dengan cara memperkuat negara dan bangsanya sendiri sehingga dapat menjajah bangsa lain seperti yang dilakukan oleh bangsa eropa. Bahkan kaisar Meiji juga ikut turun dalam menyerukan kepada bangsa jepang untuk berdiri diatas kaki sendiri dengan kerja keras dan kerjasama serta jangan hanya menjual tenaga kepada bangsa lain agar tidak dicemooh dan dihina. Perhatian seorang kaisar ternyata sangat berdampak pada rakyatnya. Rakyat yang berada diluar negaranya sendiri, entah dia seorang pelacur, pedagang bahkan kuli sekalipun. Mereka semua adalah jantung dan hati bangsa jepang dan mereka tidak bisa dipisahkan dari negerinya dan bangsanya. Dari bangsa jepang kita dapat belajar untuk mencintai bangsa kita sendiri, bagaimana mereka sangat setia pada bangsanya. Begitu semangatnya suatu bangsa atau negara yang kecil dalam mencapai kemuliaan dari bangsa lain. Bahkan bukan hanya negara saja yang sibuk meraih kemuliaan tersebut. Namun rakyatnya pun bahu membahu dalam mencapai kemuliaan tersebut. Semua rela mereka korbankan hanya untuk mengagungkan nama jepang didunia. Selain itu revolusi yang dilakukan oleh Filipina, dimana para pemberontak Filipina bekerjasama dengan Amerika berhasil mendepak atau menendang spanyol dari negara tersebut. Adanya revolusi Prancis yang mengagungkan semboyan kebebasan, persaudaraan dan persamaan. Dan cerita mengenai Khouw Ah Soe, seorang bangsa china yang mengembara untuk menyampaikan dan mengerakkan revolusi china kepada seluruh bangsa china yang berada diluar negerinya. Peristiwa mengenai bangsa jepang diatas memberikan gambaran bahwa saat ini keunggulan tidak ditentukan atas dasar warna kulit melainkan berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang dimiliki. Bukan hanya itu, berbagai kejadian didunia internasional yang diceritakan dalam buku ini digunakan sang penulis untuk mengerakan semangat kebangsaan bangsa pribumi terutama bagi kaum terpelajar seperti Minke untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Anak Semua Bangsa merupakan roman sejarah bangsa Indonesia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer agar sejarah bangsa Indonesia menarik untuk dibaca pada generasi berikutnya. Pramoedya dalam menulis buku ini, mencoba menggambarkan keadaan bangsa Indonesia pada masa penjajahan melalui sudut pandang seseorang. Apabila membaca roman tersebut dengan penuh makna, maka penulis berusaha untuk menggugah semangat kebangsaan pada diri sang pembaca. Melalui tokoh Minke, Nyai Ontosoroh, Surati, Trunodongso, cerita mengenai pergerakan yang telah dilakukan oleh bangsa lain dan sebagainya. Bahkan melihat kenyataan yang ada pada sekarang ini rasa nasionalisme bangsa Indonesia pun juga telah pudar. Saat ini bangsa Indonesia juga dijajah oleh bangsa asing secara tersirat melalui ilmu pengetahuan. Mungkin tak akan menyakitkan seperti masa penjajahan tapi secara tidak langsung apabila dibiarkan mungkin akan sangat menyakitkan melebihi sakit yang diderita oleh Surati dan Trunodongso. Kehilangan rasa nasionalisme atau semangat kebangsaan merupakan awal dari keterpurukan suatu negara.


Ryana Andryana
09/288822/SP/23780
Jurusan Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

1 komentar: